Selasa, 03 April 2012

Kisah Sukses Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi DKI Jakarta


Ini salah satu tugas Perencanaan dan Evaluasi Promosi Kesehatan (PE Promkes) sewaktu kuliah S1 dulu mengenai komentar terhadap sebuah artikel kesehatan. Saya share...mudah-mudahan bermanfaat.

Artikel
Masalah merokok dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena menyangkut sebagian besar masyarakat terkena dampaknya yang negatif. Konsumsi tembakau khususnya perilaku merokok aktif di Indonesia meningkat, termasuk kaum muda dan perempuan. Sementara itu, perokok pasif yaitu orang yang tidak merokok tetapi menghisap asap rokok dari perokok aktif, antara lain bayi dana anak-anak memiliki tingkat kerentanan tinggi apabila tidak memperoleh perlindungan yang memadai.

Kebiasaan merokok akan memperbesar faktor risiko penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru, gangguan kehamilan dan risiko terjadinya gangguan fungsi reproduksi. Pengendalian para perokok yang menghasilkan asap rokok yang sangat berbahaya bagi kesehatan perokok aktif maupun perokok pasif merupakan hal yang perlu dilakukan diantaranya melalui Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai pengamanan rokok bagi kesehatan.


Salah satu kisah sukses Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah di Provinsi DKI Jakarta. Diawali dengan pertemua-pertemuan lintas program yang membahas tentang KTR di tingkat provinsi, akhirnya disepakati akan melakukan advokasi kepada Gubernur DKI bersama-sama dengan LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok). Dengan upaya yang gigih dan penuh kesabaran, akhirnya Gubernur, yaitu Sutiyoso, merespon KTR dengan mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Gubernur No.16 Tahun 2004 tentang Pengendalian Rokok di Tempat Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya SK tersebut disosialisasikan di seluruh jajaran pemerintah daerah sampai kecamatan dan kelurahan bahwa di Lingkungan Kerja di DKI harus ada KTR.

Sebagai tindak lanjut dari SK Gubernur tersebut, diadakan pertemuan KTR di Balai Kota dengan melibatkan lintas sektor di bawah koordinasi Biro Administrasi Kesehatan dan Biro Hukum untuk sosialisasi ke lintas sektor, dan hasilnya adalah dukungan dari lintas sektor khususnya pihak swasta untuk mengembangkan KTR dilingkungan kerja.

Kiranya SK Gubernur saja tidak cukup untuk mewujudkan program KTR agar dapat berkibar dan menyadarkan masyarakat bahwa asap rokok sangat merugikan bagi kesehatan, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Untuk memperkuat SK tersebut, disusunlah Naskah Akademik untuk pembuatan peraturan daerah dengan melibatkan pakar rokok dan konsultan dari Pranata UI. Berkat usaha yang gigih dan dorongan dari beberapa LSM yang menangani masalah merokok, seperti WITT (Wanita Indonesia Tanpa Tembakau) dan LM3, akhirnya Naskah Akademik tersebut diajukan ke gubernur dan walikota. Gayung bersambut, pada waktu itu Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) sedang menyiapkan peraturan daerah tentang Pencemaran Udara untuk diajukan ke DPRD, akhirnya rancangan peraturan daerah tentang rokok dapat dimasukkan untuk menjadi bagian dari peraturan daerah tentang Pencemaran Udara.

Setelah peraturan disahkan dalam Peraturan Gubernur DKI No.75 tahun 2005, dan diadakan sosialisasi mulai bulan Februari 2005, kemudian diberlakukan mulai tanggal 6 April 2005 dan diberlakukan mulai 6 April 2005. Peraturan daerah ini mengatur mengenai kawasan dilarang merokok di tempat umum, tempat kerja, angkutan umum, tempat ibadah, arena kegiatan anak-anak, tempat proses belajar mengajar dan tempat pelayanan umum.

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan masyarakat terhadap risiko gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Dengan demikian penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini perlu diselenggarakan di berbagai tatanan, yaitu Tempat Umum, Angkutan Umum, Tempat Ibadah, Arena Kegiatan Anak-anak, Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Pelayanan Kesehatan. Kawasan Tanpa Rokok hanya akan tercapai melalui komitmen yang tinggi dan kerja keras berbagai pihak. (Sumber: www.promosikesehatan.com)


Komentar
“Pengaruh buruk rokok ternyata tak hanya ditanggung oleh si perokok aktif. Pada kenyataannya, pengaruh buruk tersebut mesti ditanggung oleh perokok pasif, yang kebanyakan anak-anak dan balita. Melihat keadaan seperti ini, pemerintah DKI Jakarata lewat beberapa lembaga di masyarakat yang antusias terhadap rokok, mengusulkan kepada pengambil keputusan-dalam hal ini Gubernur- untuk membuat SK dan peraturan khusus untuk kawasan bebas rokok. Dan akhirnya sang pengambil keputusan menyetujuinya. 

Hal yang paling urgen dalam artikel ini adalah bagaimana kepekaan kita terhadap permasalahan sekitar lalu mempengaruhi pengambil keputusan untuk mendukung dan menguatkan upaya kesehatan yang ada.

2 komentar:

  1. No.75 tahun 2005 itu bukan PERDA melainkan PERGUB..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Mbak Rini atas koreksinya. Sudah saya perbarui. :)

      Hapus

next previous home