Sabtu, 30 November 2013

Shaleh kah...

Semarang, 28 Nopember 2013 | 03:21 WIB

Dear Mak, dan Pak...

Apa kabar kalian di dini hari ini?
Aku harap kalian masih beristirahat dengan pulasnya. Tapi kalau mamak biasanya sekitar jam 4  atau setengah 5 sudah bangun menunaikan shalat tahajjud, lalu mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga seperti biasanya.

Sudah lama aku ingin menuliskan sesuatu tentang diriku yang kurasa jauh dari apa yang Bapak sama Mamak pikirkan selama ini.

Sebelumnya aku senang, sebagai anak pertama aku terus menjaga semangat belajarku. Dan Alhamdulillah hingga aku bisa kuliah pascasarjana di Semarang saat ini. Aku berharap itu menular kepada adik-adikku. Aku syukuri semua itu.

Tapi Mak...Pak, apalagi buat Mamak Hajjahku tersayang....

Tiap kali menelepon dengan Mamak, Mamak secara langsung menyapa, “Apa kabar anak mamak yang shaleh?”

Bagai gemuruh petir, aku sedih namun tetap berharap bisa menjadi anak Mamak yang shaleh. Sebenarnya diriku ini jauh dari keshalehan Mak, Ada begitu banyak dosa yang anakmu ini lakukan. Walau terlihat semangat dalam kuliah, tapi hati ini sebenarnya kotor oleh begitu banyak noda dosa.

Mak....Pak.... maafkan anakmu ini,
Aku tetap berusaha menjadi salah satu anak kalian yang shaleh. Semoga Allah menerima taubat anak kalian ini. -amiin-

Di perantauan ini aku belajar banyak hal, khususnya belajar mandiri. Namun tidak bisa kuelakkan betapa masih tergantungnya diriku pada kalian. Terkadang sengaja aku simpan dan sembunyikan beberapa keinginanku demi terlihat mandiri. Aku pendam masalahku, aku sampaikan yang baik-baik saja. Hingga lucunya malah aku sesekali bersikap normatif/ formal pada orangtua ku sendiri.

Aku bermohon kepada Allah agar Mamak dan Bapak diberi umur panjang, diberi kesehatan dan dikaruniakan hati yang selalu merasa dekat dengan-Nya. -amiin-

Aku masih terlalu muda untuk membahagiakan kalian. Masih jauh jalan yang mesti kutempuh dan masih butuh segudang waktu untuk menunjukkan siapa jati diri anakmu ini. Karenanya aku bermohon tetaplah bersamaku sampai hari itu tiba.

Sungguh perpaduan nama bapak dan mamak adalah doa bagi darah daging kalian agar kami menjadi “Dzurriyatu  as-syaakiriin” (keturunan yang bersyukur).

Di akhir,
Aku cuma mau bilang sama Mamak...
Jangan terlalu membayangkan betapa shalehnya anak mamak ini. Biarkan aku belajar menuju kesana ya Mak...
Walau aku malu dan tak pandai bagaimana mengungkapkan rasa cinta anak pada orangtuanya. Tapi aku juga berharap (doa) agar aku punya Bapak yang shaleh dan Mamak yang shalehah serta adik-adikku yang shalihiin.........
#amiin

Sedikit Cerita Kenalan

Kamis, siang hari di bulan Nopember....
Cuaca di luar sedikit mendung, ditambah tiupan angin semakin menandakan sebentar lagi hujan di Kota Semarang.
Tiba-tiba saja aku ingin menceritakan beberapa teman dekat yang sering bertegur sapa selama ±3 bulan di Semarang.

Ada Pak Aminoto, asal Palu. Tinggi badannya tidak jauh beda denganku. Kini berusia 40-an. Bapak ini kebetulan teman satu kosan dan satu konsentrasi di kuliah S2-ku. Kata bapak ini, orang palu gak bisa makan kalau gak ada ikan laut. Karena tempat asalnya mungkin di dekat pantai, dimana ikan laut mudah dan murah ditemukan. Ia bercerita kalau Ia sudah PNS sejak D-I dulu. Kebetulan pada tahun bapak itu sekolah, masih banyak berlaku sekolah ikatan dinas. Luar biasanya, bapak ini sudah ditempatkan dimana-mana saja. Ambon, Maluku, Papua,  hingga akhirnya sekarang menetap di Palu. Wah....kalau sudah cerita pengalaman, awak yang muda ini jadi pendengar yang baik saja. Banyak manut kata orang jawa, hehe. Aku jempolnya bapak ini merintis pendidikannya benar-benar dari D-I ke D-III di Surabaya ke S-I di Unhas dan sekarang kami bareng di MIKM Undip Semarang. Jadi kebayang kan pengalaman beliau. Secara, D-I dan D-III itu orang lapangan. Karenanya di profil FB bapak itu dengan PD-nya menunjukkan foto terpilihnya Ia menjadi salah satu tenaga kesehatan di Jakarta beberap tahun yang lau. Ajiibbb dahh....

Kemudian Mas Budi (Budiyanto Alhaliki), teman sejawat tapi lebih tua setahun dariku. Kuliah S2 Manajemen Sistem Informasi. Ia berasal dari Gorontalo. Yang pernah aku dengar, kabupaten Gorontalo adalah kota seribu pesantrennya Sulawesi. Kalau di Sumatera ada di Aceh. Maka gak terlalu heran kawan yang satu ini kental dengan nuansa islaminya. Kalau tidak karena kuliah, mungkin Mas Budi ini selalu pakai Gamis jika keluar rumah. Dialeknya khas banget. Terus di wajahnya tampak jelas atsaaris sujuud (hitam di dahi) tanda ia sering bersujud menunaikan banyak shalat sunnah. Semoga tetap istiqamah hingga ajal menjemput -amiin-. Kemarin itu sempat nyicipi sambal tradisonal Gorontalo, rica-rica namanya. Sambal ikan laut yang dipotong-potong kasar dengan rasa pedas yang luar biasa. Hehe. Orang Gorontalo aja sering ke toilet malamnya gara-gara banyak makan rica-rica, apalagi aku orang Medan. Ampuun.

Mas Eko, itu nama teman yang ketiga. Ia berasal dari Samarinda (Kaltim), tapi mbah-nya (oppung) tinggal di Jogjakarta. Artinya dia memang keturunan Jawa yang lahir di Samarinda. Makanya bahasanya sedikit medok seperti ngomong orang jawa kebanyakan. Mas Eko ini sedikit lebih gemuk dibanding kami bertiga. Tapi masih ideal. Sebenarnya ia satu jurusan dengan Mas Budi, cuma beda konsentrasi. Kalau Mas Budi S1-nya berlatar komputer, Mas Budi ini Matematika. Jadi mereka berdua punya jadwal kuliah yang sedikit berbeda. Familinya banyak tinggal di Surabaya dan Jogja. Jadi terkadang Ia mengisi liburannya dengan berkunjung ke sana.

Ada Mas Suwitno, asal gorontalo dan Jurusan MSI juga. Ia berkulit sedikit gelap. Di Semarang ini, orang Gorontalo kebanyakan ngumpul di kos-kosan yang sama. Walau beberapa diantara mereka ada saja yang berperilaku “badboy”, tapi Mas Suwitno ini gak termasuk kesitu. Hehe. Aku, Mas Budi dan Mas Suwitno ini sama-sama penerima beasiswa BPP-DN. Di penghujung november ini, kami sering bertukar pikiran dan bercanda ringan membahas beasiswa yang belum cair-cair juga. Padahal kampus lain (IPB, UI, ITB, UM) sudah cair beberapa minggu sebelumnya. Biar lah...belajar bersabar.

Kenalanku asal Tegal bernama Mas Maulana. Yang paling aku ingat saat dia secara sukarela ngasih aku software TOEFL. Itu sangat bantu banget belajar bahasa inggris otodidak. Awalnya sepulang shalat maghrib di mesjid Al-Furqan, Mas Maulana ini berbincang-bincang dengan temannya (Mas Yusuf). Aku samperin, mulailah betegur sapa dan saling mengenalkan diri  masing-masing. Secara fisik, Mas Maulana juga agak gemuk, berkulit gelap tapi mudah banget senyum. Hehe. Tanya punya tanya, ehh...Mas ini malah lebih muda setahun ketimbang aku. Dia sudah menjadi guru honorer di SMPN di kampungnya. Dia meneruskan studi S2-nya dengan biaya mandiri. Ya...walau masih dibantu orangtua. Setidaknya semangat belajar itu tampak jelas pada kawan ini.

Oh iya....aku malah sempat lupa bercerita teman kos-ku sendiri. Satu orang sudah kuceritakan di atas (Pak Amin).
Di kos-kosan Bu Ali ini, aku tidak terlalu dekat dengan teman lainnya. Hanya bertegur formal, dan basa-basi saja. Ada satu orang yang cukup dekat, Mas Umam namanya (Khoirul Umam). Ia asal Rembang, salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Walau terlihat sangat dewasa, ternyata Mas Umam ini lebih tua setahun saja dibanding aku. Ia bekerja di Unilever. Orangnya santun banget. Yang aku sesalkan, pernah ia sampaikan ingin belajar ngaji qur’an samaku, tapi sampai saat ini belum pernah kami kerjain. Tidak mau menyalahkan, tapi kami memang punya rutinitas yang gak sinkron. Tapi orangnya tetap baik. Kami sering nonton Tivi bareng dikamar Mas Ronny. Ia rajin puasa senin-kamis juga. Dan sering ngasih snack samaku. Jazakallah ya Mas...

Mas Sihombing (sering aku panggil ‘Bang’ juga) salah satu teman kos, kamar kami berhadapan langsung. Sudah jelas, Abang ini berasal dari Medan. Tapi Ia sudah tinggal ±16 tahun di Jawa. Kalau dialek bicara, walah....dah medok banget, banyak yang menyangka abang ini bukan orang Medan. Sampai sekarang aku gak tahu siapa nama asli abang ini. Sedikit misteri, dan segan buat aku nanya-nanya tentang pribadi abang ini. Abang ini non-islam, tapi peduli banget dengan kebersihan kos. Sering aku membaca qur’an di kosan, abang ini tetap bersikap sopan dan menghargai. Ia bekerja di Frisian Flag, sebuah industri dengan produk utama susu. Sedikit aku telisik, abang ini sudah berkeluarga. Namun istrinya tinggal di Jogja karena dosen di salah PTS di sana. Umurnya sudah 40-an, tapi tetap enjoy dan akrab (red-gaul) dengan kami-kami yang jauh lebih muda darinya.

**************************************************************

Gak tahu ya kenapa aku bercerita tentang mereka.
Di perantauan susah mendapatkan teman yang pas di hati. Kayaknya karena sebentar lagi aku pindah kos. Tanggal 6 Desember 2013 nanti adalah hari terakhir aku di kosan Bu Ali ini.
Aku bakal bareng Bg Rudin Harahap. Orang Sidempuan yang kini tinggal di Kalimantan. Pangkalan Bun kalau gak salah nama daerah abang ini tinggal. Kami mengontrak rumah di Jalan Kelud Raya. Tarifnya ekonomis, terjangkau. Walau letaknya agak jauh dari kampus.
Semoga betah di sana nanti...

Minggu, 24 November 2013

Sya'ir Pendosa

وَاللهِ لَوْ عَلِمُوْا قَبِيْحَ سَرِيْرَتِيْ
Demi Allah, seandainya mereka mengetahui jeleknya hatiku,

لأَبَى السَّلاَمَ عَلَيَّ مَنْ يَلْقَانِيْ
Niscaya orang yang bertemu denganku akan enggan menyalamiku,

وَلَأَعْرَضُوْا عَنِّيْ وَمَلُّوْا صُحْبَتِيْ
Mereka akan berpaling dariku dan bosan berteman denganku,

وَلَبُؤْتُ بَعْدَ كَرَامَةٍ بِهَوَانِ
Aku akan menjadi hina setelah mulia,

لَكِنْ سَتَرْتَ مَعَايِبِيْ وَمَثَالِبِيْ
Tetapi Engkau menutupi kecacatan dan kesalahanku,

وَحَلِمْتَ عَنْ سَقَطِيْ وَعَنْ طُغْيَانِيْ
Dan Engkau bersikap lembut dari dosa dan keangkuhanku,

فَلَكَ الْمَحَامِدُ وَالْمَدَائِحُ كُلُّهَا
Bagi-Mu lah segala pujian,

بِخَوَاطِرِيْ وَجَوَارِحِيْ وَلِسَانِيْ
Dengan hati, badan dan lidahku,

وَلَقَدْ مَنَنْتَ عَلَيَّ رَبِّ بِأَنْعُمِ
Sungguh, Engkau telah memberiku nikmat yang begitu banyak,

مَالِيْ بِشُكْرِ أَقَلِّهِنَّ يَدَانِ
Tetapi aku kurang mensyukuri nikmat-nikmat tersebut,

[Nuniyah al-Qohthoni hal. 9 ]
next previous home