Jumat, 03 November 2023

Moderasi Beragama dan Islam Nusantara: Teladan Harmoni Agama di Kawasan Asia Tenggara

Opini oleh:
Rapotan Hasibuan
Peserta PKDP Angkatan II Tahun 2023 | UIN Sumatera Utara Medan

Moderasi Beragama: Pilar Kebangsaan dan Toleransi di Kawasan Asia Tenggara

Kawasan Asia Tenggara adalah rumah bagi lebih dari 650 juta orang yang mewakili berbagai etnis, bahasa, agama, dan budaya. Keberagaman ini adalah harta yang berharga, namun juga memunculkan tantangan dalam mempertahankan harmoni sosial.

Dalam konteks ini, Moderasi Beragama muncul sebagai sebuah konsep kunci yang mencakup komitmen kebangsaan, toleransi, penolakan terhadap kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.

Mari kita menjelajahi lebih dalam konsep ini dan melihat contoh konkret bagaimana Moderasi Beragama diimplementasikan di Kawasan Asia Tenggara, dengan fokus pada prinsip-prinsip Islam Nusantara yang telah dijunjung tinggi dalam kawasan ini.
 
Prinsip-Prinsip Utama Moderasi Beragama

1. Komitmen Kebangsaan
Moderasi Beragama melibatkan kesetiaan kepada negara sebagai prioritas utama. Ini menciptakan kerangka kerja di mana warga negara, terlepas dari agama atau etnisitas mereka, merasa berkewajiban untuk menjaga keharmonisan dan stabilitas negara.

Contoh nyata dari komitmen kebangsaan ini bisa kita lihat di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, yang diterjemahkan sebagai "Berbeda-beda namun tetap satu," menjadi semboyan yang merefleksikan semangat persatuan dalam keragaman budaya dan agama di Indonesia.

Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 17 ribu pulau dan memiliki lebih dari 300 kelompok etnis dan bahasa yang berbeda. Namun, walaupun perbedaan ini, semangat persatuan dan kesatuan di antara masyarakat Indonesia tetap kuat.

Dalam kaitannya dengan agama, Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, tetapi juga rumah bagi berbagai agama lainnya. Pada saat yang sama, Indonesia mempraktikkan Islam Nusantara, yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal, menghasilkan praktik Islam yang inklusif dan harmonis.

2. Toleransi
Toleransi adalah inti dari Moderasi Beragama. Ini mengacu pada kemampuan individu dan komunitas untuk hidup berdampingan dengan penganut agama atau kepercayaan yang berbeda. Di Malaysia, sebagai contoh, kita melihat berbagai kelompok agama hidup berdampingan dengan relatif damai.

Prinsip "Rukun Negara" di Malaysia menekankan kesetiaan kepada negara dan saling menghormati. Tidak hanya itu, Malaysia telah menjadi tuan rumah untuk banyak konferensi antar-agama dan dialog antaragama, yang mempromosikan pengertian yang lebih baik di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.

Malaysia memiliki sekitar 60 persen penduduk muslim, sementara sekitar 20 persen adalah penganut Buddha, 10 persen adalah penganut Hindu, dan sisanya menganut agama-agama lainnya. Kemampuan kelompok-kelompok ini untuk hidup berdampingan adalah contoh kuat dari bagaimana toleransi bisa menjadi pilar penting bagi keragaman budaya di Asia Tenggara.

3. Anti Kekerasan
Moderasi Beragama menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Filipina, sebagai contoh, telah mengalami konflik antara berbagai kelompok etnis dan agama selama beberapa dekade.

Namun, upaya terus dilakukan untuk mencapai perdamaian dan toleransi. Perjanjian damai dengan Moro Islamic Liberation Front bertujuan untuk mengakhiri konflik di wilayah selatan Filipina, menunjukkan komitmen terhadap anti-kekerasan dan dialog.

Selama bertahun-tahun, konflik di Filipina telah mengakibatkan ribuan korban jiwa dan merusak infrastruktur. Namun, banyak pihak, termasuk pemerintah, LSM, dan komunitas lokal, telah bekerja keras untuk mencapai perdamaian. Ini adalah contoh konkret tentang bagaimana penolakan terhadap kekerasan dapat memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sosial.

4. Menghargai Budaya Lokal
Moderasi Beragama juga mendorong penghargaan terhadap budaya lokal dan adat-istiadat. Di Thailand, masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan agama merayakan festival-festival tradisional bersama-sama. Ini menciptakan ikatan budaya yang kuat di antara mereka dan menguatkan identitas nasional yang inklusif.

Di Thailand, kita melihat perayaan Songkran, yang merupakan perayaan Tahun Baru Thai. Acara ini tidak hanya dirayakan oleh orang Thailand, tetapi juga oleh komunitas etnis minoritas. Ini adalah contoh nyata tentang bagaimana budaya lokal dapat mempersatukan orang-orang dari latar belakang beragam.

Islam Nusantara: Teladan Praktik Moderasi Beragama
Islam Nusantara merupakan konsep Islam yang berkembang di Kawasan Asia Tenggara, terutama di Indonesia, yang menekankan Moderasi Beragama. Konsep ini menggabungkan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal, menghasilkan praktik Islam yang lebih inklusif dan harmonis.

Islam Nusantara menekankan pentingnya toleransi antarumat beragama. Di Indonesia, kita melihat ini tercermin dalam berbagai bentuk perayaan bersama, seperti perayaan Idul Fitri bersama dengan umat Hindu dan Kristen.

Dalam praktiknya, Islam Nusantara mendorong pendekatan yang moderat terhadap isu-isu keagamaan. Ini berarti menolak ekstremisme dan kekerasan dalam nama agama. Dialog antarumat beragama dipromosikan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik satu sama lain.
 
Contoh Praktik Islam Nusantara
Dalam berbagai daerah di Indonesia, praktik Islam yang moderat dan inklusif berkembang. Masyarakat Muslim aktif terlibat dalam kegiatan lintas agama dan budaya. Sebagai contoh, di Kota Yogyakarta, ada upacara bersama yang melibatkan umat Islam dan umat Hindu yang dikenal sebagai "Pawai Bersama."

Pada perayaan tersebut, umat Hindu dan umat Islam berpartisipasi dalam pawai yang merayakan kedekatan antarumat beragama. Mereka berjalan bersama di jalan-jalan kota sambil membawa patung-patung Dewa Hindu dan simbol-simbol Islam, yang mencerminkan semangat harmoni agama yang kuat.

Selain itu, di Aceh, provinsi yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, ada semangat untuk melestarikan budaya lokal dan menjaga toleransi antarumat beragama. Budaya Aceh yang kaya dipertahankan dan dihormati oleh seluruh komunitas, sehingga menciptakan lingkungan yang harmonis.

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh bukanlah hambatan bagi upaya menjaga keragaman budaya. Sebaliknya, ini menjadi contoh tentang bagaimana agama dapat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa mengecualikan atau memarginalkan kelompok lain.
 
Studi Moderasi Beragama
Ditemukan sejumlah studi yang dapat membantu memahami lebih jauh terkait Moderasi beragama di kawasan Asia Tenggara. 

Penelitian Bouma (2010), misalnya, menekankan keragaman identitas dan ekspresi keagamaan di kawasan Asia Tenggara, dengan Buddha, Kristen, dan Islam yang dominan namun berada dalam konteks multi-agama.

Marshall (2013) membahas dinamisme institusi dan praktik keagamaan, yang dibentuk oleh urbanisasi, migrasi, dan politik, serta menyoroti peran gerakan dan pemimpin keagamaan dalam membentuk sejarah kawasan.

Reid (2016) mengeksplorasi paradoks kepatuhan beragama formal yang tampak kurang beragam di Asia Tenggara, sekaligus merayakan tradisi toleransi beragama di kawasan ini dan potensi menjaga keseimbangan melalui tradisi lokal yang ada.

Ropi (2012) menekankan pentingnya mengatur agama di wilayah yang beragam seperti Asia Tenggara untuk menjamin keharmonisan dan persatuan sosial.
Penelitian-penelitian tersebut secara kolektif memberikan wawasan mengenai keragaman agama, perubahan sikap negara, dan pentingnya praktik moderasi beragama dalam menjaga keharmonisan sosial di kawasan Asia Tenggara.
 
Kesimpulan
Moderasi Beragama adalah konsep penting di Kawasan Asia Tenggara, di mana keberagaman agama dan budaya adalah norma. Dalam upaya menjaga perdamaian, harmoni, dan kesatuan, komitmen kebangsaan, toleransi, penolakan terhadap kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal sangat penting. Islam Nusantara, dengan pendekatan inklusifnya terhadap Islam, adalah contoh nyata tentang bagaimana konsep ini diterapkan dalam praktik.

Semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga agama, dan masyarakat, memiliki peran penting dalam mempromosikan Moderasi Beragama di Kawasan Asia Tenggara. Dengan menjadikan Moderasi Beragama sebagai fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan damai di Kawasan Asia Tenggara. Semangat Moderasi Beragama, bersama dengan Islam Nusantara, akan terus menjadi landasan bagi keragaman yang kita nikmati di wilayah ini.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan global seperti ekstremisme, terorisme, dan perpecahan sosial, kawasan Asia Tenggara dapat berfungsi sebagai contoh bagi dunia dalam mempromosikan Moderasi Beragama. Prinsip-prinsip ini, seperti komitmen kebangsaan, toleransi, penolakan terhadap kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal, bukan hanya relevan untuk Asia Tenggara, tetapi juga untuk seluruh dunia.

Kita dapat belajar dari pendekatan yang telah diterapkan di kawasan ini dan menerapkannya di tempat-tempat lain yang juga menghadapi tantangan serupa.

Dengan menerapkan Moderasi Beragama, kita dapat membangun dunia yang lebih damai dan inklusif di mana setiap orang, terlepas dari agama, etnisitas, atau latar belakang budaya, dapat hidup bersama dalam harmoni. Itulah harapan dan tantangan bagi kita semua untuk terus menjalani perjalanan ke masa depan yang lebih baik.

Selasa, 10 September 2019

Sedekah yang Terbungkus Dengan Harga Diri

Aku kandaskan kesombonganku setelah melihat video viral di timeline FB-ku. Merinding dan miris rasanya diri ini dipenuhi kesombongan. Sementara dia dengan hidupnya yang begitu, berpikir jauh merencanakan tabungan masa depannya. Ampuni hamba yang sombong ini ya Rabb..!




Wahai orang merasa kaya belajarlah dari mereka, #Kedermawanan Yang Tertukar.

Seorang wanita bertanya pada penjual telur yg sudah tua, "Berapa harga telurnya?". Penjual telur menjawab, "Satu butir harganya Rp 2.500, Nyonya."

Wanita itu berkata, "Saya mau mengambil 6 butir tapi dengan harga Rp 12.500 atau kalau ngga ya udah, ngga jadi beli." Penjual telur menjawab, "Baiklah, mungkin ini awal yg baik karena dari tadi tak ada satupun telur yg berhasil saya jual."

Wanita itu mengambil telur-telur tersebut dan berjalan dengan perasaan senang bahwa dia sudah menang.

Kemudian dia masuk ke dalam mobil mewahnya dan pergi ke restoran bersama temannya. Di sana, dia bersama temannya memesan apapun yg mereka sukai. Mereka makan sedikit dan menyisakan banyak dari apa yg sudah mereka pesan. Kemudian wanita tersebut membayar tagihannya. Tagihannya sebanyak Rp 450.000. Dia memberikan uang Rp 500.000 dan berkata bahwa kembaliannya untuk sang pemilik restoran saja.

Kejadian seperti ini mungkin terlihat normal bagi pemilik restoran, tapi sangat menyakitkan bagi penjual telur yg sudah tua.

Intinya adalah: "mengapa kita selalu menunjukkan bahwa kita punya kuasa ketika kita membeli dari orang-orang yang membutuhkan?. Dan kenapa juga kita jadi dermawan kepada orang-orang yang bahkan tidak membutuhkan kedermawanan kita?".

Suatu ketika saya pernah membaca:

"Ayahku biasa membeli barang2 remeh-temeh dari orang miskin dengan harga tinggi, walaupun dia tidak membutuhkan barang2 tersebut. Kadang2 dia bahkan membayar lebih untuk itu. Aku tertarik pada hal ini dan lantas bertanya mengapa dia melakukannya? Kemudian ayahku menjawab, 'Anakku, ini adalah sedekah yg terbungkus dengan harga diri.'"

Saya tahu anda tak akan membagikan pesan ini, tapi jika anda merasa bahwa orang-orang perlu mengetahuinya, maka sebarkanlah pesan ini.

Kalimat yg pantas untuk jadi perenungan: 
"SEDEKAH YANG TERBUNGKUS DENGAN HARGA DIRI."

credit to : Yayat Akadir

Rabu, 11 Oktober 2017

Ringkasan 'Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)'

Nasehat ini mungkin sudah viral di jejaring sosial. Saya pribadi begitu pertama kali membacanya langsung terenyuh karena sangat membenarkan pesan yang disampaikan. Demikian bunyi nasehat tersebut:

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001)” yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi “best seller”, mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang :

1.    Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak.

2.    Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yg wajar.

3.  Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.

4.    Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit- sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).

5.   Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

6.   Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil risiko kurang dihargai.

7.  Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

8.   Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta Asia jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru/narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya Profesor Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:

1.  Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
2.  Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.
3.    Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihafalkan?. Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.
4.    Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
5.  Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
6.    Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAHU!
7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.

Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa memiliki anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.

Senin, 03 April 2017

Ironi 'Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati'

الوِقَايَةُ خَيْرٌ مِنَ الْعِلَاجِ

Menemukan artikel bagus yang mengingatkan kembali bahwa "al wiqaayatu khairum minal 'ilaaji" alias mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Bercerita tentang perumpamaan/ permisalan sering kali membuat kita lebih mudah memahami pesan-pesan baik yang -mungkin- cenderung berbahasa 'langit'. 

Ada seorang yang membuka bisnis kebun binatang. Di pintu masuknya, dia (owner) memasang tarif ticket masuk 30 dolar/orang tapi tidak ada 1 orang pun yang masuk.

Karena beberapa lama tidak ada pengunjung maka harga ticket pun ia turunkan menjadi 20 dolar dan tetap tidak 1 orang pun mau masuk. 

Merasa kecewa karena masih tidak ada juga pengunjung, akhirnya ia kembali turunkan tarif ticket menjadi 10 dolar namun tetap saja tidak ada pengunjung yang masuk.

Hingga akhirnya dia mendapatkan ide, ditulislah pengumuman:
*"MASUK GRATIS"* 

Dan benar saja, kemudian banyak orang yang rebutan masuk dan berhimpit-himpitan.

Ketika pengunjung di dalam penuh, si owner ini membuka semua pintu kandang binatang buas singa, harimau, serigala, ular dan mengunci pintu Exit (keluar). 

Lalu di pintu keluar Ia buat tulisan:
*"KELUAR BAYAR 500 DOLAR !!"*

Apa yang terjadi?.  Orang-orang pun berebutan bayar.

Inilah ironi kehidupan. Ketika ditawarkan untuk hidup sehat, 'STOP MEROKOK, STOP MIRAS, puasa sunnah, olahraga, minum air putih, komsumsi nutrisi kesehatan (dalam upaya pencegahan penyakit), banyak orang tidak mau, tidak peduli dan 'EGP'.

Tapi kalau sudah masuk Rumah Sakit, berapapun mahalnya biaya RS tersebut, pasti akan dibayarnya untuk dapat sembuh, sekalipun harus jual asset atau berhutang. (Manquul)



Selasa, 28 Februari 2017

Sajak 'Rindu'

Walau beribu hari dilalui
Selalu saja tersimpan bayangan di hati
Walau dihalau pergi
Selalu saja kembali

Ah, rindu ini harusnya tak pantas bersemi
Belum ... sungguh belum waktunya hadir disini
Tetapi apalah daya kami untuk mengusir pergi
Yang terlanjur ada di dalam hati

Walau beribu hari dilalui
Selalu saja tersimpan keinginan di diri
Walau banyak yang mencabari
Selalu saja datang menyambangi

Sadarlah ... disinilah bentuk pengendalian diri
Sadarlah ... disinilah kepekaan diri diuji
Memilih menjalani atau pergi
Memilih bahagia atau tetap begini

*Puisi Gubahan Mbak Chaca
previous home