Selasa, 17 September 2013

Kisah Teladan : Bukan Pembenci Kekayaan

Keteladanan sejati seperti ini jarang terekspos oleh media,
karena orientasi hidup zaman sekarang yang berporos pada kemapanan, kemewahan, dan kekuasaan.
Seperti kisah nyata berikut ini,
yang diceritakan oleh seorang rekan yang sedang kuliah di Mesir.
Selamat membaca dan memetik inspirasi:

Saya punya seorang kenalan. Beliau seorang dokter yang menjadi salah seorang pengurus Ikatan Dokter Mesir. Istrinya juga seorang dokter ahli kandungan. Menurut pandangan saya, mungkin kita semua juga sependapat kalau orang seperti beliau bisa hidup pada kalangan menengah ke atas. Sebab suami-istri sama-sama dokter, dan sudah menjadi dokter ahli.

Tapi kenyataannya rumah beliau tidak lebih mewah dari rumah sewaan mahasiswa. Tidak punya mobil pribadi, kemana-mana naik angkot. HP yang saya miliki lebih mewah dari HP beliau.
Pakaiannya sederhana, kalau orang baru kenal akan mengira beliau seorang bawwab (satpam apartemen). Namun di samping itu beliau sangat dermawan, banyak bersedekah dan bantu orang.
Lama saya penasaran dengan beliau, kenapa gaya hidupnya begitu.
Tidak mungkin ia tidak mampu untuk hidup lebih layak. Sampai pada suatu kesempatan saya beranikan diri menanyakan hal itu kepadanya.

Jawabannya membuat mata saya jadi berkaca-kaca:
"Akhi, aku bukan tidak mampu untuk hidup mewah dan menjadi orang kaya. Aku juga tidak mencela kawan-kawan yang hidup dengan mewah. Aku bukan pembenci kekayaan. Tapi.....untuk diri pribadi dan keluargaku, aku memilih kehidupan seperti ini di dunia yang sementara ini.
Aku lebih tahu tentang pribadiku. Aku takut kalau sudah terbiasa hidup bergelimang kemewahan akan susah meninggalkannya. Selangkah demi selangkan syetan akan menjerumuskan ku untuk menjadi pencinta dunia. Akhirnya aku jadi orang yang lupa, bahkan takut untuk kembali ke akhirat. 
Di samping itu aku cemas tidak bisa mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan Allah nanti. Hisab akhirat itu amatlah berat.
Sekali lagi aku tidak mencela orang yang memilih hidup mewah selagi itu pada batasan yang dihalalkan Allah. Kita punya pilihan hidup masing-masing. Dan aku bahagia dengan gaya hidup bersahaja ini".


Mungkin banyak orang seperti beliau di Mesir ini, beliau hanya salah seorang di antara mereka. Orang yang memilih kehidupan yang tidak mudah ditiru oleh sembarang orang. Hanya orang pilihan yang mampu seperti itu.

Di samping seorang dokter, beliau juga ahli fiqih dan ushul fiqh. Beliau pencinta ilmu hingga selalu menyempatkan diri untuk talaqqi kepada masyayekh. Hafal al Qur'an dengan lancar dan ribuan hadits, serta kuat melakukan banyak ibadah.

Allahumma tawaffana musliman wa alhiqna bishshalihin.

Sumber: putramelayu http://is.gd/Dl1DT7

Sabtu, 07 September 2013

Javanese Character

Well, kali ini bercerita watak atau bisa dibilang sifat/karakter suku Jawa.

Alhamdulillah...sebelumnya segala puji bagi Allah yang mengizinkan hamba-Nya menimba ilmu di perantauan. Ya.... Aku melanjutkan studi Pasca Sarjana di Semarang, Jawa Tengah. Tepatnya di Universitas Diponegoro (UNDIP). Dan yang membuat bibir dan hati ini semakin bersyukur pada-Nya adalah karena aku menjalani studi ini dengan beasiswa dari Dikti (Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan).


Alhamdulillah....alhamdulillah....alhamdulillah.....

Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut dengan suku dan budaya setempat. Karena di Sumatera Utara, aku juga tumbuh besar di lingkungan transmigrasi dimana kebanyakan teman-teman kecilku adalah bersuku Jawa. Bahkan parahnya, aku sempat kikuk/terbata-bata mengucapkan bahasa daerah ku sendiri...

Alaale’ baya (bahasa mandailing – hampir sama maksudnya dengan kecian de loe....). hehe

Postingan ini bukan bermaksud rasis, tapi sebenarnya lebih kepada deskripsi orang-orang bersuku jawa namun bersifat subjektif. Silahkan saja bila berlainan pendapat. Karena ini murni menurut pendapat pribadi juga. So, keep calm ya.....

Di kampung ku sendiri, orang jawa memang terkenal ulet dan telaten. Apa aja kerjaan bakal dilakuin buat menyambung nyawa. Gak ada gengsi sedikit pun. Selain itu mereka ini memang terkenal ramah. Gak heran kalau sedikit ditegur saja mereka langsung merespon “ngge, monggo, nuwun sewu, dan lain-lainnya”, itu saking ramahnya.

Namun tidak tahu mengapa, beberapa orang aku dengar pernah mengatakan kalau orang jawa itu sifatnya lembut di depan, tapi beda di belakang, bak ular berkepala dua gitu. Tapi ini perlu diklarifikasi lagi. Gak boleh juga kita berprasangka buruk sama mereka. Kalau aku justru menanggapi sifat yang gituan ada bagusnya. Mereka pandai menjaga perasaan orang dengan tidak menyampaikan langsung hal-hal buruk didepannya. Di kampungku kebanyakan orang langsung ketus aja menyampaikan uneg-uneg yang tidak dia sukai sama orang lain. Agak kontras gitu lah....

Nah....ada satu lagi sifat yang buat aku segan sekaligus kagum sama orang jawa, terutama dosen atau mahasiswa jawa di sekitaran Undip. Sejauh yang aku amati, para pria nya alim-alim bukan main. Terlepas apakah mereka orang Semarang asli atau pendatang dari Kota sekitaran Semarang.

Itu lho....atsaris sujuud (bekas sujud berwarna gelap di dahi) nya yang khas banget. Bukan hanya satu dua orang, tapi kebanyakan dari mereka. Bukan dosen atau mahasiswa aja, tukang sate juga. Subhaanallah.....

Kalau sudah melihat mereka-mereka ini, dalam hati ada keirian yang teramat sangat. Dan tak jarang bergumam “wah.....cemen aku ini. Gak seberapa diriku dibanding orang-orang ini”.  Hehe. Serius lho....

Belum lagi kalau aku jalan-jalan ke perpustakaan, lihat biodata pengarang/penulis buku sebahagian besar adalah mereka yang bersuku jawa. Ajib..ajib....kagum kali lah....

Tulisan ini bisa jadi tamparan keras buat suku batak, khususnya diriku sendiri. Walau mereka sebenarnya tidak lepas juga dari kekurangan dan kealpaan. Tetapi, semoga tulisan ini bisa menginspirasi siapapun untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. That’s it !

Semoga betah di Semarang ini untuk 2 tahun selanjutnya. Dan menjadi bagian dari kumpulan semangat hidup manusia lainnya. [jauh berjalan, banyak dilihat]

Salam bloggers........
next previous home