Kamis, 08 Desember 2016

Ujian Sekolah dan Menjadi Orangtua Yang Baik

Barusan baca pesan yang dibagikan salah seorang teman di group WA ‘Team Hore MIKM 2013’ (group temu kangen virtual teman-teman pasca magister ilmu kesehatan masyarakat universitas diponegoro (MIKM UNDIP), semarang angkatan 2013). Pesan tersebut merupakan penggugah para orangtua menjelang ujian sekolah murid/siswa sekarang ini (bisa UAS, UN ataupun ujian sejenisnya).

Tidak bisa dinafi’kan bahwa sistem ujian sekolah siswa belakangan ini menjadi momok yang misterius dan menakutkan pada semua kalangan. Siswa, guru, kepala dinas pendidikan dan lebih-lebih orangtua siswa akan menjadi begitu kecewa bila siswa tidak dapat lulus ujian tersebut. Ironisnya, rasa khawatir yang begitu besar akan kekecewaan dan masa depan si siswa/anak mendorong kita menggunakan cara-cara yang justru merusak mental.

Di sebahagian sekolah, banyak siswa ‘bekerja sama’ menyelaraskan jawaban dengan jawaban siswa yang dianggap pintar di kelasnya alias MENCONTEK, bahkan para guru menjadi ‘calo’ jawaban ujian, dan berikut fenomena kurang baik lainnya.

Dan ternyata secara tidak langsung, itulah gambaran dari mental kita, mental bangsa ini. Dalam suasana kepanikan, ketegangan, kekhawatiran kita malah diajarkan ketidak-jujuran, ditularkan ‘kreativitas menyimpang’ menghalalkan segala cara demi lulus ujian sekolah. Maka tidak heran follow-up yang tampak jelas sebagai dampak fase ujian sekolah tersebut adalah banyaknya calon-calon penguasa, atau calon pegawai, atau staf yang menghalalkan segala cara demi tercapainya jabatan yang mereka idam-idamkan.

Kembali ke pesan tadi, menurut saya pesan ini menyentuh sanubari para orangtua dan pelajaran bagi calon orangtua. Dan bila direnungkan lebih mendalam, nasehat ini adalah pengusir ampuh rasa kekhawatiran yang tidak menentu itu. Adapun pesan tersebut berbunyi seperti ini:

Anak anak kita yang masih sekolah sudah mulai UAS, berikut ini adalah surat seorang Kepala sekolah dari negara Singapura ke orang tua murid/siswa:

Kepada Para Orangtua,

Ujian anak Anda akan dimulai sebentar lagi. Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya. Tapi, mohon diingat, di tengah-tengah para pelajar yang akan menjalani ujian itu :
Ada calon seniman, yang tidak perlu mengerti Matematika.
Ada calon pengusaha, yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra.
Ada calon musisi, yang nilai Kimia-nya tak akan berarti.
Ada calon olahragawan, yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika.
Ada calon photografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang artistik/seni berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini.

Sekiranya anak Anda lulus menjadi yang teratas, hebat!. Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka. Katakan saja, ‘tidak apa-apa, itu hanya sekedar ujian’.

Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini. Katakan pada mereka, “Tidak penting berapapun nilai ujian mereka, Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka”.

Lakukanlah ini, dan di saat itu, lihatlah anak Anda akan menaklukkan dunia. Sebuah ujian atau nilai rendah takkan mencabut impian dan bakat mereka.

Dan mohon, berhentilah berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.

Hormat Saya
Kepala Sekolah


Dengan tidak mendeskreditkan profesi apapun, pesan tersebut tampak jelas menegur sekaligus mengobati kegalauan hati para orangtua akan anaknya. Di dunia modern dan maju ini, dimana senti-mentil akan materi tengah mengisi standar penilaian kita, pesan tersebut mengingatkan kembali ada standar nilai yang tidak bisa diukur dengan logika rasional. Ya menjadi dokter atau insinyur identik dengan banyak gaji, banyak gaji banyak uang, banyak uang banyak harta, banyak harta banyak bahagia, upsss...apa iya???. Itulah logika materialistis absolut. Penghormatan, ketenangan, dan kebahagiaan dikira hanya bisa dicapai dengan nilai material yang ada pada seseorang.

Saya menganalogikan dengan pernyataan bijak yang mungkin tidak senada, tapi sasarannya sama. Saya menemukan kata-kata seperti ini, “kita manusia pasti akan terluka, namun kita yang menentukan apakah luka tersebut menjadikan kita tersiksa ataupun sengsara”.

Ya, tersiksa dan sengsara tiada bedanya dengan bahagia. Keduanya adalah pilihan SIKAP. Banyak harta mungkin membuat bahagia, tapi mencapai bahagia tidak hanya dari banyak harta. Adalah pilihan kita sendiri apa-apa yang menjadikan kita bahagia. Harta membuatmu bahagia, so go a head. Titel membuatmu bahagia, go a head. Spritualitas membuatmu bahagia, go a head. Silakan pilih, dan lakukan dengan baik dan jujur serta konsisten.

Kaitannya dengan pesan WA di atas adalah jangan lantas tidak lulus ujian, si Anak kemudian merasa nilai harga diri dan percaya diri terampas begitu saja. Harga diri dan kepercayaan diri seorang anak disiapkan oleh Yang Maha Pemberi untuk sesuatu yang lebih besar dari sekedar ujian sekolah tersebut. Dan inilah yang sesaat terlupa di benak sebahagian orang tua.

Pada pesan tersebut secara jelas disebutkan banyak ranah, bidang dan pekerjaan lain yang bisa membuat anak bangga dan bahagia akan pilihannya, yang pekerjaan tersebut sedikit sekali terkait dengan ujian sekolah atau bahkan tidak sama sekali.

Kalau lah nasehat ini diamalkan, benar-benar dilakukan di kehidupan nyata, maka kita bisa melihat kebesaran hati seorang anak tumbuh besar dan bijaksana, dan itu adalah bekal terbaik mengarungi kehidupan masa depan.

Bahkan sebelum dewasa sekalipun, dengan kebijaksanaannya, si anak akan menjadi penentram hati orang tua, bagai malaikat kecil yang bijaksana melafadzkan untaian kebaikan dan kecintaan. Karena siapa bilang orang tua tidak pernah salah dan khilaf, menjadi orang tua ya belajar jadi orang tua yang benar, dan belajar menjadi orang tua yang benar berarti belajar yang tiada berujung.

Seperti kisah film Suicide Squad (2016), yang tidak tahu mengapa menurut saya begitu kuat relevansinya dengan pesan WA di atas. Dimana dalam satu scene, Deadshot (Will Smith) sebagai ayah yang tidak baik begitu terharu dengan pernyataan anaknya Zoe (Shailyn Pierre-Dixon) :


Dan saya cuma mau bilang, “Damn.., you got all me with that one”.
next previous home