Ini salah satu tugas Perencanaan dan Evaluasi Promosi Kesehatan (PE Promkes) sewaktu kuliah S1 dulu mengenai komentar terhadap sebuah artikel kesehatan. Saya share...mudah-mudahan bermanfaat.
Artikel
Masalah merokok dewasa ini telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena menyangkut sebagian besar
masyarakat terkena dampaknya yang negatif. Konsumsi tembakau khususnya perilaku
merokok aktif di Indonesia meningkat, termasuk kaum muda dan perempuan.
Sementara itu, perokok pasif yaitu orang yang tidak merokok tetapi menghisap
asap rokok dari perokok aktif, antara lain bayi dana anak-anak memiliki tingkat
kerentanan tinggi apabila tidak memperoleh perlindungan yang memadai.
Kebiasaan merokok akan
memperbesar faktor risiko penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh
darah, penyakit paru, gangguan kehamilan dan risiko terjadinya gangguan fungsi
reproduksi. Pengendalian para perokok yang menghasilkan asap rokok yang sangat
berbahaya bagi kesehatan perokok aktif maupun perokok pasif merupakan hal yang
perlu dilakukan diantaranya melalui Penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai
pengamanan rokok bagi kesehatan.
Salah satu kisah sukses Penetapan
Kawasan Tanpa Rokok adalah di Provinsi DKI Jakarta. Diawali dengan
pertemua-pertemuan lintas program yang membahas tentang KTR di tingkat
provinsi, akhirnya disepakati akan melakukan advokasi kepada Gubernur DKI
bersama-sama dengan LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok). Dengan upaya
yang gigih dan penuh kesabaran, akhirnya Gubernur, yaitu Sutiyoso, merespon KTR
dengan mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Gubernur No.16 Tahun 2004 tentang
Pengendalian Rokok di Tempat Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Selanjutnya SK tersebut disosialisasikan di seluruh jajaran pemerintah
daerah sampai kecamatan dan kelurahan bahwa di Lingkungan Kerja di DKI harus
ada KTR.
Sebagai tindak lanjut dari SK
Gubernur tersebut, diadakan pertemuan KTR di Balai Kota dengan melibatkan
lintas sektor di bawah koordinasi Biro Administrasi Kesehatan dan Biro Hukum
untuk sosialisasi ke lintas sektor, dan hasilnya adalah dukungan dari lintas
sektor khususnya pihak swasta untuk mengembangkan KTR dilingkungan kerja.
Kiranya SK Gubernur saja tidak cukup untuk mewujudkan program KTR agar
dapat berkibar dan menyadarkan masyarakat bahwa asap rokok sangat merugikan
bagi kesehatan, baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif. Untuk memperkuat
SK tersebut, disusunlah Naskah Akademik untuk pembuatan peraturan daerah dengan
melibatkan pakar rokok dan konsultan dari Pranata UI. Berkat usaha yang gigih
dan dorongan dari beberapa LSM yang menangani masalah merokok, seperti WITT
(Wanita Indonesia Tanpa Tembakau) dan LM3, akhirnya Naskah Akademik tersebut
diajukan ke gubernur dan walikota. Gayung bersambut, pada waktu itu Badan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) sedang menyiapkan peraturan daerah
tentang Pencemaran Udara untuk diajukan ke DPRD, akhirnya rancangan peraturan
daerah tentang rokok dapat dimasukkan untuk menjadi bagian dari peraturan
daerah tentang Pencemaran Udara.
Setelah peraturan disahkan dalam Peraturan Gubernur DKI No.75 tahun 2005,
dan diadakan sosialisasi mulai bulan Februari 2005, kemudian diberlakukan mulai
tanggal 6 April 2005 dan diberlakukan mulai 6 April 2005. Peraturan daerah ini
mengatur mengenai kawasan dilarang merokok di tempat umum, tempat kerja,
angkutan umum, tempat ibadah, arena kegiatan anak-anak, tempat proses belajar
mengajar dan tempat pelayanan umum.
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan masyarakat
terhadap risiko gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.
Dengan demikian penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini perlu diselenggarakan di
berbagai tatanan, yaitu Tempat Umum, Angkutan Umum, Tempat Ibadah, Arena
Kegiatan Anak-anak, Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Pelayanan
Kesehatan. Kawasan Tanpa Rokok hanya akan tercapai melalui komitmen yang tinggi
dan kerja keras berbagai pihak. (Sumber: www.promosikesehatan.com)
Komentar
“Pengaruh buruk rokok ternyata tak hanya ditanggung oleh si perokok aktif.
Pada kenyataannya, pengaruh buruk tersebut mesti ditanggung oleh perokok pasif,
yang kebanyakan anak-anak dan balita. Melihat keadaan seperti ini, pemerintah DKI Jakarata lewat beberapa
lembaga di masyarakat yang antusias terhadap rokok, mengusulkan kepada
pengambil keputusan-dalam hal ini Gubernur- untuk membuat SK dan peraturan
khusus untuk kawasan bebas rokok. Dan akhirnya sang pengambil keputusan
menyetujuinya.
Hal yang paling urgen dalam artikel ini adalah bagaimana kepekaan kita terhadap permasalahan sekitar lalu mempengaruhi pengambil keputusan untuk mendukung dan menguatkan upaya kesehatan yang ada.
Hal yang paling urgen dalam artikel ini adalah bagaimana kepekaan kita terhadap permasalahan sekitar lalu mempengaruhi pengambil keputusan untuk mendukung dan menguatkan upaya kesehatan yang ada.
No.75 tahun 2005 itu bukan PERDA melainkan PERGUB..
BalasHapusTerimakasih Mbak Rini atas koreksinya. Sudah saya perbarui. :)
Hapus