“..rombongan itu hanya mencari arti terdalam HIDAYAH melalui
pengorbanan dari mesjid ke mesjid..”
Tumbuh berkembang dari usia anak,
remaja dan beranjak dewasa di lingkungan madrasah selama 6 tahun tidak
membuatku lantas fanatik dengan pemahaman yang diajarkan guru (aku menyebutnya
‘asatidz’) kala itu.
Memang tampak jelas di mataku setidaknya 2-3 guru asatidz begitu semangat, menggelora, berapi-api menyebut gerakan/organisasi ‘M’ adalah paling baik, terstruktur dengan baik dan memiliki lembaga kajian yang sangat mumpuni di bidangnya. Saat berusia 18 kala itu, aku bisa memahami pernyataan asatidz didasari posisinya sebagai kader organisasi dan sekaligus pendidik di mata pelajaran mengenai profil organisasi M. Tentunya sangat baku, kaku, atau orang jawa bilang saklek namun terkesan tegas dan mantap dengan pilihan organisasi yang menaunginya hingga sekarang.
Memang tampak jelas di mataku setidaknya 2-3 guru asatidz begitu semangat, menggelora, berapi-api menyebut gerakan/organisasi ‘M’ adalah paling baik, terstruktur dengan baik dan memiliki lembaga kajian yang sangat mumpuni di bidangnya. Saat berusia 18 kala itu, aku bisa memahami pernyataan asatidz didasari posisinya sebagai kader organisasi dan sekaligus pendidik di mata pelajaran mengenai profil organisasi M. Tentunya sangat baku, kaku, atau orang jawa bilang saklek namun terkesan tegas dan mantap dengan pilihan organisasi yang menaunginya hingga sekarang.
Hingga saatnya aku pun dapat
menamatkan pendidikan dengan predikat (alhamdulillah) terbaik saat itu dan
lulus bebas test (PMDK) ke PTN ternama di Sumatera Utara. Dari sini lah aku
mulai mengenal gerakan ini, mereka pindah dari mesjid satu ke mesjid lain.
Memakai serban (sorban), berbaju gamis seperti orang arab atau india,
berjanggut lebat, memakai celana di atas mata kaki dan pada beberapa kesempatan
terlihat menenteng alat masak (kompor) saat berpindah-pindah tersebut. Aneh,
unik, dan penasaran pun menghinggapi pikiranku. Buat apa sih seperti itu?, mau
ngapain mereka?, kok segitunya kali ya?, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
mengusik keingin-tahuanku.
Bahkan dulu saat Aliyah (SMA)
dengan agak sombong, sempat terpikir olehku ingin berargumen dengan mereka,
mendebat mereka agar tahu titik terang dan menyadarkan mereka. Tapi dasar aku,
beraninya cuma dalam hati aja. Akhirnya saat itu aku coba cuek aja, EGP dan
menganggap santai aja.
Tinggal ngekos di Padang Bulan, Medan saat kuliah S1 dulu ternyata membuatku
kembali bertemu dengan beberapa orang yang aktif dalam gerakan ini. Bahkan yang
tidak kusangka, abang kos sebelumnya (yang kamarnya aku tempati) ternyata telah
lama berkecimpung dalam gerakan ini. Alhasil aku tanya sana tanya sini sama si
Abang, dan dengan gaya penuturan yang santai penuh senyum dan gurauan, aku
merasa asyik dan enjoy dengan semua penjelasannya. Sedikit pun tidak ada
was-was dan curiga dalam diri.
Akhirnya mulai saat itu aku coba
melibatkan diri sekedarnya dalam gerakan ini. Aku tanggalkan (lebih tepatnya ‘sembunyikan’)
latar belakangku sebagai murid madrasah, dan membaur dengan mereka. Mengamati
dan menganalisis kajian, pemahaman dan tindak tanduk aliran gerakan ini dari
dalam, ya dekat dengan mereka. Banyak sebenarnya yang enggan bergabung dengan mereka-mereka ini, beberapa bahkan
mencemooh sampai memfitnah. Dari yang aku dengar mereka menyebut ini gerakan
bid’ah (karena tidak pernah diajarkan Rasul dan Nabi), tegaan (karena
meninggalkan keluarga), lupa dunia (karena isi kajian hampir seluruhnya dogma
kehidupan akhirat), dan lain sebagainya. Namun dalam hati keci aku bergumam,
“Kalau memang itu benar, kenapa meraka-mereka ini masih eksis?, kenapa masih
ada sampai sekarang?”.
Namun setelah berinteraksi
langsung, mengikuti kajian dan ikut belajar agama dengan mereka dari mesjid ke
mesjid, akhirnya aku bisa sedikit memahami. Pertama, aku paling tidak bisa
menyebut ini bid’ah itu tidak atau ini sesat itu sunnah karena secara aku masih
sangat dha’if (lemah) dalam pemahaman seperti itu. Dari yang aku pelajari dari
mereka, gerakan ini adalah buah pikir sebagai manifestasi dari kekhawatiran dan
risau para ulama-ulama akan hilangnya HIDAYAH dari bumi Allah, yang mana itu
merupakan petanda akan segera datangnya musibah yang dahsyat. Namun dengan
tanda kutip, bergabung dengan gerakan ini pasti kita dapat hidayah, belum
tentu.
Gerakan ini kalau bisa aku sebut
sebagai cara, metode atau tarekat yang dilalui agar diri kita pantas diberi
hidayah dari Alah SWT. Ingat, diri kita sendiri. Kita menyeru kebaikan atau
mengajak orang lain ke mesjid, bukan berarti kita telah mendapat Hidayah dan
orang lain tidak. Hidayah itu 100% adalah otoritas Allah SWT, kewenangan-Nya
semata. Saat mengajak kepada kebaikan itu sebenarnya kita dilatih mengajak diri
sendiri, mendisiplinkan diri dan menata hati agar terbiasa dalam kebaikan. Agar
kita setidaknya layak dan qualified
diberi pertolongan oleh Allah, keberkahan serta hidayah-Nya. Essensi gerakan
ini adalah usaha untuk mendapatkan itu, bukan untuk mengajak orang
sebanyak-banyaknya ke mesjid.
Kedua, tega meninggalkan keluarga saat khuruj fii sabilillah (keluar di jalan Allah). Ini adalah bagian dari pengorbanan yang harus ditempuh
dengan melepaskan diri dari ketergantungan pada makhluk dan materi. Meninggalkan
keluarga tidak serta merta begitu saja. Sebelumnya seorang karkun (sebutan orang yang aktif dalam gerakan ini) yang telah
berkeluarga harus menafkahi secara lahir dan bathin, mendapatkan ridha keluarga
dan menabung serta menyiapkan bekal untuk beberapa hari/minggu/bulan ke depan. Untuk
mendapatkan izin dan ridha keluarga tidak pula dilakukan dengan memaksa.
Jauh sebelum ditinggalkan,
keluarga telah disiapkan dengan pemahaman agama yang baik, berperilaku
sehari-hari mencontoh kehidupan di masa Rasul dan Sahabat Nabi, sabar dan
lainnya. Sehingga ketika bekal lahir dan bathin keluarga telah disiapkan dengan
baik, insyaAllah tidak akan dilanda kekhawatiran diantara keduanya. Namun
kembali, karkun dan keluarganya telah
memahami bahwa sebaik-sebaik bekal adalah Takwa dan Tawakkal kepada Allah. Terkadang
aku juga merasa dilema dengan hal ini, tapi sering pula aku bertanya pada diri
sendiri, “Mereka saja tidak khawatir meninggalkan keluarganya, Emang aku ini
siapa kok mengkhawatirkan keluarga mereka?”. “Ahh...mereka ternyata punya Allah
yang dekat dengan mereka”. Sudah kah aku berkorban sesuatu agar dekat
dengan-Nya?”.
Lalu yang terakhir, lupa dunia.
Yang ini memang dikhawatirkan sekali melanda calon-calon karkun baru yang begitu semangat mempelajari agama dalam gerakan
(jama’ah) ini. Para karkun senior sendiri mengakui tidak sedikit para karkun
akhirnya meninggalkan kuliah, meninggalkan keluarga tanpa pamit, meninggalkan
kerja, dan meninggalkan hal-hal lain terkait aspek duniawi. Bak seorang sufi yang hati dan
pikirannya berisi Allah SWT, akhirnya menjadi sangat zuhud (sangat sederhana),
melepas hampir semua ketergantungannya pada materi dan makhluk, berpakaian dan
makan seadanya, yang setiap dia menoleh ke setiap tempat namun yang terlihat
adalah kebesaran Allah SWT, bahkan ada yang tidak menikah. Kalau sudah begini, kebanyakan
masyarakat normal seperti kita (yang menyombongkan pemahaman agamanya yang
tidak seberapa), memandang mereka-mereka setengah gila, tegaan, kurang waras
dan sebagainya.
Dari yang aku pahami sampai
sekarang, Rasullullah Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk taat pada Allah
SWT namun tidak melupakan kehidupan dunia. Segala fasilitas duniawi boleh
dinikmati sekedarnya dan digunakan untuk meraih ridha Allah SWT. Bahkan di dalam
Qur’an sendiri ada potongan ayat yang mengingatkan hal yang sama, “Wa laa tansa
nashiibaka minad dunya..”. Secara riwayat, ayat ini lebih ditujukan kepada
mereka yang hari-harinya dihabiskan beribadah pada Allah. Mereka yang
mengerjakan shalat sunat beratus-ratus raka’at, yang berpuasa sunat hampir
setiap hari, yang bersedekah hingga hampir seluruh hartanya. Lalu apakah ayat
ini layak juga untuk kita yang biasa-biasa ini. Ya, berapa shalat sunat yang
kita kerjakan tiap harinya?, seberapa hebat puasa kita?, seberapa banyak
sedekah kita?, seberapa banyak waktu kita gunakan memikirkan akhirat?,
berapa...berapa???”.
Rutinitas gerakan (jama’ah) ini
dari mesjid ke mesjid tiada lain adalah sindirian sekaligus teguran pada kita
untuk kembali menghitung berapa banyak waktu hidup yang telah kita luangkan
untuk agama ini?, untuk sesuatu yang kita imani?, untuk sesuatu yang dibawa
sampai mati dan mempertanggung-jawabkannya?. Bohong rasanya kalau kita berkata
sudah Banyak. Hitung aja, dalam sehari punya 24 jam. Untuk 5 shalat wajib
paling habis 1 jam, baca qur’an 1 jam, total 2 jam. Atau katakan lah
maksimalnya 5 jam per hari kita bisa meluangkan (mengorbankan) waktu untuk
TOTAL beribadah pada Allah. Sedikit sekali bukan?. 19 jam nya kemana?, pasti
mikiran dunia kan?. Itu pun kalau TOTAL khusyu’ ibadah ya, karena pengalamanku
sendiri saat shalat aja kita masih suka kepikiran hal-hal lain selain Allah,
berarti kita korupsi waktu juga.
Sekali lagi, sudah kah kita Total?. Maka pantas kah kita ngata-ngatain, menjelek-jelekkan mereka yang mencoba untuk Total kepada Allah. Mereka juga toh gak selamanya meninggalkan keluarga, mereka pasti balik. Mereka bawa pulang pelajaran, nasehat dan segudang kisah kebesaran Allah yang mereka rasakan saat di rumah nanti. Mereka kembali bekerja, menabung, belajar agama lagi, dan kembali begitu, pilihan siklus hidup mereka dalam menjaga hidayah agar tetap menyala dalam sanubari mereka.
Sekali lagi, sudah kah kita Total?. Maka pantas kah kita ngata-ngatain, menjelek-jelekkan mereka yang mencoba untuk Total kepada Allah. Mereka juga toh gak selamanya meninggalkan keluarga, mereka pasti balik. Mereka bawa pulang pelajaran, nasehat dan segudang kisah kebesaran Allah yang mereka rasakan saat di rumah nanti. Mereka kembali bekerja, menabung, belajar agama lagi, dan kembali begitu, pilihan siklus hidup mereka dalam menjaga hidayah agar tetap menyala dalam sanubari mereka.
Lalu aku pun bertanya kepada
kita, apa pengorbanan, apa usaha kita untuk tetap menjaga, maintenance, dan charge iman kita yang suka naik turun
ini?.
Akhirnya, aku pun ingin
menyampaikan. Kita belum pantas untuk menghakimi dan melabeli mereka karena
kita sebenarnya belum melakukan apa-apa (atau ada sedikit) untuk menjaga
keimanan kita pada Allah SWT. Kita boleh saja menempuh cara lain untuk menambah
ketakwaan dan ketaatan kita, namun tidak untuk menjelekkan mereka yang jelas
sudah berkorban untuk sesuatu yang mereka yakini, dan itu semata-mata untuk
memperbaiki diri mereka sendiri. So, sebagaimana yang diketahui bahwa tidak ada
paksaan dalam agama, namun jangan lupa bahwa mengolok-olok (ngata-ngatain) tidak pula diajarkan
dalam agama.