“Kelakuan seseorang masih mudah untuk dirubah. Namun jika kelakuan tersebut berubah menjadi nilai dan norma dalam masyarakat, maka yang kita hadapi bukan lagi orang perorang, tetapi menghadapi masyarakat”
Sebagai mahasiswa kesehatan masyarakat yang dalam pendidikannya amat sangat dianjurkan untuk menjadi agent of change (agen perubahan), saya tertarik untuk terjun memikirkan hal-hal yang dilematis. Terutama berkaitan dengan kesehatan orang banyak. Dan saya tidak habis berpikir bagaimana mendilemanya rokok. Izinkan saya menjelaskan apa yang saya bisa pahami, yakni bagaimana berpengaruhnya rokok membentuk runutan dilematis, khususnya di kalangan akademisi kesehatan sendiri.
Pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri, memang banyak juga tenaga kesehatan (dokter, perawat, mahasiswa kesehatan, dll) dan orang yang mumpuni tentang kesehatan yang masih saja melakukan perilaku ini. Perlu diingat, itu bukan berarti mereka terbebas dari dampak yang ditimbulkan oleh rokok itu sendiri. Dan memang mereka bukannya tidak tahu atau tidak paham dengan kandungan rokok. Perlu diketahui bahwa orang-orang yang masih merokok bukan lah orang yang bodoh, bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang rokok, tetapi mereka TIDAK MAU untuk berubah. Dan ketidakmauan ini merupakan defisiensi motif seseorang untuk beralih ke perilaku yang sehat. Ini yang sering dijelaskan oleh dosen pengajar perilaku kesehatan. Sebuah penyakit perilaku manusia pada umumnya.
Terlepas dari sudut pandang hukum seputar regulasi rokok, saya mendapati pemahaman yang cukup cerah dan sekaligus merupakan sedikit jawaban dari dilema rokok itu sendiri. Dimana yang paling jelas terlihat adalah, berbicara pengaturan rokok maka tidak lepas juga dari pembicaraan ekonomi negara versus masalah kesehatan.
Saat itu, dosen yang mengajarkan mata kuliah hukum dan perundangan kesehatan memaparkan bahwa ia memiliki jawaban tersendiri menanggapi hal ini. Secara meyakinkan ia mengatakan bahwa orientasi pemerintah dan masyarakat pada umumnya terhadap rokok adalah belum orientasi kesehatan. Maksudnya, seandainya pemerintah benar-benar membuat aturan yang ketat akan regulasi rokok selanjutnya masyarakat mengurangi perilaku merokok, maka akan berimplikasi terhadap aspek lain yang sebenarnya lebih urgen -dan selanjutnya itulah yang disebut orientasi lainnya-. Yakni, jauh sebelum kita berpikir perubahan perilaku terlaksana dengan orientasi kesehatan, sebenarnya ada 2 orientasi lagi yang jadi pertimbangan, yakni orientasi pendapatan negara dan orientasi alternatif pekerjaan bagi buruh rokok yang mesti dipertimbangkan dulu.
Jika kedua orientasi tadi (pendapatan negara dan alternatif pekerjaan buruh rokok) sudah terpenuhi, barulah pemerintah beralih ke orientasi kesehatan. Maka secara berturut Negara Indonesia masih cenderung mengedapankan pendapatan negara lalu buruh pekerja rokok, barulah kemudian kesehatan. Ini bisa dipahami karena semua orientasi berdalihkan kesejahteraan rakyat, namun yang mempunyai efek langsung -pada kenyataannya- adalah memang pendapatan negara dan kerja para buruh rokok.
Suatu harapan yang kita dihadapkan pada keadaan dimana pemerintah dan buruh rokok tidak bergantung lagi terhadap perusahaan rokok. Mungkinkah?, mengingat Indonesia negara merupakan pengahasil tembakau terbesar.
Namun sebenarnya saya tidak berhenti dengan argumen diatas. Dan bukan berarti tidak setuju. Hanya saja saya masih memiliki pertimbangan lain tentang rokok ini. Kedua orientasi yang dikatakan lebih urgen -dari orientasi kesehatan- lebih condong ke arah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang bersifat ekonomis. Dengan sanggahan, pemerintah dan masyarakat pada umumnya juga terlupakan akan pemanasan global, biaya pengobatan penderita kanker paru atau serangan jantung yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, anak yatim yang ditinggal mati ayahnya karena menderita gangguan paru, hingga akhirnya keluarga tersebut harus hidup tanpa sosok seorang ayah. Menyedihkan. Ini karena mengingat prevalensi merokok di Indonesia juga hampir mencapai angka 28%.
Perokok Pasif
Untuk sekedar diketahui, data Susenas menunjukkan hasil analisis menunjukkan prevalensi perokok pasif di Indonesia sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk, yaitu pada laki-laki 31,8% dan pada perempuan 66%. Di setiap propinsi prevalensi perokok pasif pada perempuan selalu lebih tinggi daripada laki-laki; pada perempuan berkisar antara 46,3-76,9%, dan pada laki-laki berkisar antara 22,6% - 38,5%.
Prevalensi perokok pasif tertinggi adalah pada kelompok umur balita dan anak 5-14 tahun laki-laki maupun perempuan. Pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6%, dan pada 10-14 tahun sebesar 70,4-70,7%. Pada kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi perokok pasif pada perempuan tetap tinggi yaitu berkisar antara 68,8-56,3%. Sedangkan pada laki-laki sangat rendah pada umur yang semakin tua yaitu sebesar 51,1% pada umur 15-19 tahun dan mencapai 5,3% pada umur 50 tahun ke atas.
Pada perempuan berstatus kawin prevalensi perokok pasif cukup tinggi pada yaitu 70,4%, juga pada yang berstatus belum kawin sebesar 66,9%, sedangkan pada yang berstatus cerai sebesar 40,6%. Berbeda dengan laki-laki di mana justru pada yang berstatus belum kawin prevalensi perokok pasif adalah tertinggi yaitu 57,2%, dan pada yang berstatus kawin dan cerai sangat rendah yaitu masing-masing 3,4% dan 9,7%.
Di ketiga kawasan yaitu Jawa Bali, Sumatra, dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin) prevalensi perokok pasif perempuan menunjukkan angka yang lebih tinggi dibanding pada laki-laki.
Di perkotaan maupun di pedesaan, prevalensi perokok pasif perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hasil perhitungan menunjukkan jumlah populasi perokok pasif perempuan yang berisiko terkena kanker saluran napas sebesar 48.594 penduduk, dan total biaya yang harus dikeluarkan tiap penderita kanker paru setiap tahunnya sebesar Rp. 8.712.000,- Dengan demikian perkiraan jumlah biaya yang hilang karena populasi perokok pasif perempuan yang menderita kanker saluran napas adalah sebesar Rp.42.335.000.000,- setiap tahun.
Lalu bagaimana pula dengan si perokok aktif?
Dengan perbandingan di atas, saya mempertanyakan, ”manakah kesejahteraan rokok yang berpihak pada masyarakat sebenarnya?”. Dan saya pribadi masih tetap menanyakan implementasi aturan rokok yang ada. Berpihak kemana kah?
Maka saya menghimbau kita semua, menurut saya merokok masih ’kelakuan’ orang perorang diantara kita. Belum menjadi nilai dan norma di masyarakat kita secara luas. Tidak ada yang memberi sanksi pada anda karena anda tidak merokok.
Anda bukan tidak tahu. Marilah bergabung untuk menjadi Mau.
Pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri, memang banyak juga tenaga kesehatan (dokter, perawat, mahasiswa kesehatan, dll) dan orang yang mumpuni tentang kesehatan yang masih saja melakukan perilaku ini. Perlu diingat, itu bukan berarti mereka terbebas dari dampak yang ditimbulkan oleh rokok itu sendiri. Dan memang mereka bukannya tidak tahu atau tidak paham dengan kandungan rokok. Perlu diketahui bahwa orang-orang yang masih merokok bukan lah orang yang bodoh, bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang rokok, tetapi mereka TIDAK MAU untuk berubah. Dan ketidakmauan ini merupakan defisiensi motif seseorang untuk beralih ke perilaku yang sehat. Ini yang sering dijelaskan oleh dosen pengajar perilaku kesehatan. Sebuah penyakit perilaku manusia pada umumnya.
Terlepas dari sudut pandang hukum seputar regulasi rokok, saya mendapati pemahaman yang cukup cerah dan sekaligus merupakan sedikit jawaban dari dilema rokok itu sendiri. Dimana yang paling jelas terlihat adalah, berbicara pengaturan rokok maka tidak lepas juga dari pembicaraan ekonomi negara versus masalah kesehatan.
Saat itu, dosen yang mengajarkan mata kuliah hukum dan perundangan kesehatan memaparkan bahwa ia memiliki jawaban tersendiri menanggapi hal ini. Secara meyakinkan ia mengatakan bahwa orientasi pemerintah dan masyarakat pada umumnya terhadap rokok adalah belum orientasi kesehatan. Maksudnya, seandainya pemerintah benar-benar membuat aturan yang ketat akan regulasi rokok selanjutnya masyarakat mengurangi perilaku merokok, maka akan berimplikasi terhadap aspek lain yang sebenarnya lebih urgen -dan selanjutnya itulah yang disebut orientasi lainnya-. Yakni, jauh sebelum kita berpikir perubahan perilaku terlaksana dengan orientasi kesehatan, sebenarnya ada 2 orientasi lagi yang jadi pertimbangan, yakni orientasi pendapatan negara dan orientasi alternatif pekerjaan bagi buruh rokok yang mesti dipertimbangkan dulu.
Jika kedua orientasi tadi (pendapatan negara dan alternatif pekerjaan buruh rokok) sudah terpenuhi, barulah pemerintah beralih ke orientasi kesehatan. Maka secara berturut Negara Indonesia masih cenderung mengedapankan pendapatan negara lalu buruh pekerja rokok, barulah kemudian kesehatan. Ini bisa dipahami karena semua orientasi berdalihkan kesejahteraan rakyat, namun yang mempunyai efek langsung -pada kenyataannya- adalah memang pendapatan negara dan kerja para buruh rokok.
Suatu harapan yang kita dihadapkan pada keadaan dimana pemerintah dan buruh rokok tidak bergantung lagi terhadap perusahaan rokok. Mungkinkah?, mengingat Indonesia negara merupakan pengahasil tembakau terbesar.
Namun sebenarnya saya tidak berhenti dengan argumen diatas. Dan bukan berarti tidak setuju. Hanya saja saya masih memiliki pertimbangan lain tentang rokok ini. Kedua orientasi yang dikatakan lebih urgen -dari orientasi kesehatan- lebih condong ke arah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang bersifat ekonomis. Dengan sanggahan, pemerintah dan masyarakat pada umumnya juga terlupakan akan pemanasan global, biaya pengobatan penderita kanker paru atau serangan jantung yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, anak yatim yang ditinggal mati ayahnya karena menderita gangguan paru, hingga akhirnya keluarga tersebut harus hidup tanpa sosok seorang ayah. Menyedihkan. Ini karena mengingat prevalensi merokok di Indonesia juga hampir mencapai angka 28%.
Perokok Pasif
Untuk sekedar diketahui, data Susenas menunjukkan hasil analisis menunjukkan prevalensi perokok pasif di Indonesia sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk, yaitu pada laki-laki 31,8% dan pada perempuan 66%. Di setiap propinsi prevalensi perokok pasif pada perempuan selalu lebih tinggi daripada laki-laki; pada perempuan berkisar antara 46,3-76,9%, dan pada laki-laki berkisar antara 22,6% - 38,5%.
Prevalensi perokok pasif tertinggi adalah pada kelompok umur balita dan anak 5-14 tahun laki-laki maupun perempuan. Pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6%, dan pada 10-14 tahun sebesar 70,4-70,7%. Pada kelompok umur 15 tahun ke atas prevalensi perokok pasif pada perempuan tetap tinggi yaitu berkisar antara 68,8-56,3%. Sedangkan pada laki-laki sangat rendah pada umur yang semakin tua yaitu sebesar 51,1% pada umur 15-19 tahun dan mencapai 5,3% pada umur 50 tahun ke atas.
Pada perempuan berstatus kawin prevalensi perokok pasif cukup tinggi pada yaitu 70,4%, juga pada yang berstatus belum kawin sebesar 66,9%, sedangkan pada yang berstatus cerai sebesar 40,6%. Berbeda dengan laki-laki di mana justru pada yang berstatus belum kawin prevalensi perokok pasif adalah tertinggi yaitu 57,2%, dan pada yang berstatus kawin dan cerai sangat rendah yaitu masing-masing 3,4% dan 9,7%.
Di ketiga kawasan yaitu Jawa Bali, Sumatra, dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin) prevalensi perokok pasif perempuan menunjukkan angka yang lebih tinggi dibanding pada laki-laki.
Di perkotaan maupun di pedesaan, prevalensi perokok pasif perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hasil perhitungan menunjukkan jumlah populasi perokok pasif perempuan yang berisiko terkena kanker saluran napas sebesar 48.594 penduduk, dan total biaya yang harus dikeluarkan tiap penderita kanker paru setiap tahunnya sebesar Rp. 8.712.000,- Dengan demikian perkiraan jumlah biaya yang hilang karena populasi perokok pasif perempuan yang menderita kanker saluran napas adalah sebesar Rp.42.335.000.000,- setiap tahun.
Lalu bagaimana pula dengan si perokok aktif?
Dengan perbandingan di atas, saya mempertanyakan, ”manakah kesejahteraan rokok yang berpihak pada masyarakat sebenarnya?”. Dan saya pribadi masih tetap menanyakan implementasi aturan rokok yang ada. Berpihak kemana kah?
Maka saya menghimbau kita semua, menurut saya merokok masih ’kelakuan’ orang perorang diantara kita. Belum menjadi nilai dan norma di masyarakat kita secara luas. Tidak ada yang memberi sanksi pada anda karena anda tidak merokok.
Anda bukan tidak tahu. Marilah bergabung untuk menjadi Mau.
* Tulisan ini juga bisa dibaca pada harian online Analisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar