Aku belum mengerti bagaimana cara memanajemen diri. Dari yang aku pelajari, manajemen diperlukan karena sumber daya yang terbatas. Kalau memang punya sumber daya yang melimpah dan tidak terbatas, maka manajemen tidak diperlukan. Tapi anehnya, ketidakmampuan memanjemen diri ini bukan karena aku punya fasilitas tidak terbatas. Sombong sekali aku bila menyebut begitu.
Secara materialistis, aku memang punya keluangan waktu yang cukup banyak dan materi yang bisa dibilang pas-pasan. Tapi kan itu bukan jadi alasan untuk tidak bisa belajar manajemen. Apalagi manajemen diri.
Kalau aku sinkronkan dari apa yang kupelajari di filsafat ilmu, sesungguhnya aku mengalami aksidensi yang sangat banyak. Hal itu sangat berpengaruh pola pikirku yang mencoba berusaha bekerja secara ontologis. Aksidensi adalah pikiran-pikiran pengganggu, kurang penting, emosional, dan sejenisnya. Sementara Ontologis adalah pikiran essensial, fokus, hakiki, inti. Dan akhirnya aku memahami di usiaku yang masih muda ini, aku belum bisa memaksimalkan fungsi akalku berpikir rasional dan objektif.
Secara materialistis, aku memang punya keluangan waktu yang cukup banyak dan materi yang bisa dibilang pas-pasan. Tapi kan itu bukan jadi alasan untuk tidak bisa belajar manajemen. Apalagi manajemen diri.
Kalau aku sinkronkan dari apa yang kupelajari di filsafat ilmu, sesungguhnya aku mengalami aksidensi yang sangat banyak. Hal itu sangat berpengaruh pola pikirku yang mencoba berusaha bekerja secara ontologis. Aksidensi adalah pikiran-pikiran pengganggu, kurang penting, emosional, dan sejenisnya. Sementara Ontologis adalah pikiran essensial, fokus, hakiki, inti. Dan akhirnya aku memahami di usiaku yang masih muda ini, aku belum bisa memaksimalkan fungsi akalku berpikir rasional dan objektif.
Sering sekali aku bertanya dalam hati, apa yang sedang kujalani ini
adalah benar pilihanku/keputusanku sepenuhnya, atau sebenarnya aku ini cuma
ikut-ikutan saja?. Pertanyaan itu makin lama malah semakin kuat ketika aku membandingkan
pola hidup yang kujalani dengan orang-orang yang asyik-mansyuk dengan rutinitasnya.
Dari pandangan mataku, mereka mampu memanajemen aktivitas, emosional,
sosial dan spritual mereka secara nyata. Sedangkan aku justru hanya mencari
pembenaran ini itu agar bertahan pada posisi ‘aman’. Sedikit agak aneh kalau
pikiran dan tenaga di masa muda ini dimanjain begitu saja, tidak diasah agar
terlatih.
Di sisi lain, aku terobsesi dengan stigma “EGP (emang gue pikirin)”,
“Santai aja Bro”, “Ntar ada masanya kita sibuk masing-masing sobb”, dan
lain-lainnya. Pikiran-pikiran ini sangat kontradiktif dengan pikiran di awal
tadi. Tapi justru pada saat ini paling mempengaruhi persepsiku. Soalnya bisa
buat pikiran lebih fresh, tidak
stress dan tidak buat panik.
Karenanya aku tidak bisa menyalahkan orang yang ingin mengatakan kalau
aku plin-plan, inkosistensi, atau labil.
Wathever lah....
Aku sebenarnya tidak suka dikatakan demikian. Karenanya aku bisa jadi
membenci diriku kalau itu menjadi tipe diri, watak bawaan, atau sifatku yang
menjadi pembeda dengan yang lain. Sungguh sungguh benci. Tapi tidak tahu kenapa, terkadang karena hal-hal seperti itu lah
sebenarnya membuat aku lebih mudah fleksibel
dan adaptif terhadap sekelilingku.
Finnally,
Aku mencoba memastikan diriku untuk tidak putus aja menjalani karunia
hidup ini. Kemampuan manajemenku harus ditingkatkan lagi. Tidak usah berpikir
hal yang besar, cukup manajemen diri saja dulu. Mencoba menyehatkan ‘akal dan
hati’, mendisiplinkan ‘langkah’ menuju mimpi/ cita-cita. Dan itu semua harus
ada terobosan nyata nya. Ada konkretnya. Bukan sekedar akal-akalan saja.
Yaa Rabb......bantu hamba menjadi Manajer. Amiin !